Bujang, begitulah orang – orang
menyapa ku. Ku terlahir dari keluarga yang sangat terbelakang, terpinggirkan,
dan hanya menyambung hidup dengan berjualan kayu bakar. Setiap hari ku habiskan
di dalam semak belukar untuk mencari sebatang pohon. Orang tua ku yang telah
tua mulai tak sanggup lagi berjalan menyusuri lereng bukit yang penuh dengan
semak belukar. Setiap aku keluar menjajakan kayu, ku selalu di ejek oleh pemuda
dan anak – anak kampung yang berpendidikan. Dan tak jarang pula mereka mencaci
maki ku. Namun, ini semua harus ku lalui.
Hingga suatu saat aku mulai
menyadari akan masa depan ku. Ku menatap ke arah yang lebih jauh, dan semakin
terhanyut dalam pikiran, ku melayang di angan – angan melihat nasib yang akan
ku terima jika tetap terpaku dalam kebodohan. Betapa inginnya aku hidup
bagaikan anak – anak yang selalu bersuka ria. Ingin rasanya ku teriakkan pada
dunia bahwa aku ingin seperti mereka. namun aku tiada sanggup.
“Bujang yang
malang.” begitulah mereka mengejek ku.
Didalam lamunan ku, ku melihat akan
datangnya sesosok malaikat yang ingin menjemput ku dan membawa ku dalam istana
yang megah. Tiba – tiba aku tersentak dari lamunan ku. Derap langkah seorang
pengusaha memupuskan hayalan ku. Senyum dan sapaannya membuatku terpanah,
akankah ia datang sebagai malaikat yang akan menjadikan ku sebagai raja?.
“Selamat
pagi dek?” begitulah ia menyapa ku.
Tak sepatah
kata pun dapat ku ucapkan, bahkan untuk membalas sapaannya pun aku tak sanggup.
Ku masih berada dalam ketidakyakinan. Setelah beliau berlalu barulah aku
tersadar bahwa beliau bicara pada ku. Hari – hari selanjutnya mulai ku lewati
dengan penuh semangat. Ku ingin seperti pengusaha yang telah menyapa ku itu.
Hingga suatu saat aku berjumpa kembali dengan beliau.
“pagi pak?” sapa ku terlebih dahulu
sebelum beliau memberi salam.
“pagi dek.”
jawab beliau. Selanjutnya kami pun bicara panjang lebar hingga akhirnya ia
menanyakan perihal pendidikan ku. Dengan sangat malu kusampaikan pada beliau
bahwa aku tidak pernah menduduki jenjang pendidikan. Kini usia ku sudah
menginjak 14 tahun, seumuran dengan anak kelas 3 SLTP. Walaupun demikian beliau
tetap memberi semangat pada ku agar memasuki dunia pendidikan. Bahkan aku
ditari beliau untuk bersekolah ditempat yang sangat baik. namun untuk awalnya
aku harus belajar secara mandiri dahulu.
ketika pelaksanaan UN di gelar, aku
mengikuti ujian untuk sekolah terbuka dengan jenis ujian paket B. Setelah lulus
ujian beliau membawa ku ke kota besar. Kota yang tak pernah ada dalam pikiran
ku. Seperti hutan yang ditumbuhi oleh pohon – pohon yang tiada berdaun. Ya,
bagaikan rumah pohon yang tingginya mencakar langit. Panasnya suhu kota membuat
ku sesalu ingin kembali ke negri seribu pohon. Semangat untuk mengubah nasib
dan mengangkat derajat keluarga jualah yang membuat aku bertahan hidup di negri
tanpa daun ini.
*****
Sepuluh tahun berlalu, kini ku hidup
dalam kemewahan. Namun kemewahan ini jualah yang menyiksa ku. sedetik pun tiada
waktu yang tersisa dalam hidup ku. Bahkan untuk menatap wajah lesuh orang tua
ku pun tak bisa. Ku telah di butakan oleh harta yang melimpah. Ku telah lupa
akan apa yang diajarkan oleh guru mengaji pada ku. Didalam kesibukan ku, samar
ku dengar suara seruling dan biola. Nyanyian khas kampung halaman ku. Suara
seruling penghimbau pulang. Suara biola pesta perayaan. Semakin lama ia semakin
jelas ku dengar. Rindu yang telah terkubur mulai bangkit kembali. Ikatan kerja
yang erat mulai diputuskan oleh gejolak rindu. Seruling itu mengingatkan ku
ketika berada di dalam hutan belantara. Ketika ku bernyanyi dengan satwa yang
ada. Ku mulai bangkit dari kursi kerajaan ku, menyusuri setiap jalan yang ada.
Mencari sumber suara yang selalu bernyanyi di telinga ku. Namun ia tiada pernah
ku jumpai.
Untuk selanjutnya ku mulai merenung,
Ku mulai berpikir tentang apa yang telah ku lakukan dalam hidup ku. Pada
dinding – dinding yang kokoh, pada kota ini, ku tanyakan apa yang telah ku
perbuat. namun yang kudengar hanyalah kebisuan. Harta yang selama ini cari tak
sanggup menjawab pertanyaanku. Pakaian yang selalu ku pakai pun hanya memilih
untuk membisu. Aku mulai gila dengan keadaan ini.
“Malaikat
itu.” bisik hati ku. Yah, malaikat itu. Dimanakah ia berada? Mengapa ia
membiarkanku menjadi gila seperti ini? Sejuta pertanyaan mulai menghantui
pikiran ku.
Tiba – tiba aku dikejutkan oleh
datangnya sosok yang mungkin ku kenali. Masih jelas di pikiran ku tantang wajah
itu. Wajah yang dahulunya memperkenalkanku tentang harta, tentang kekayaan, dan
sosok wajah yang telah menjadikanku sebagai orang yang sangat jenius
dilingkunganku. Ingin rasanya ku membunuhnya. Namun suaranya dan cara
bicanyanya jualah yang menjadikan ku membatalkan eksekusi yang ku rencanakan.
Sebuah nasehat kecil yang ia sampaikan kepada ku.
“Harta yang melimpah tidak akan
pernah membuatmu tenang. hanya kehadiran orang tua disampingmu yang dapat
menyejukkan dan menenangkan hati mu.” nasehat malaikat ku.
“Harta yang
kau cari hanya akan menjadikan mu sebagai npenghuni neraka jika kau tidak
berbakti pada orang tua mu.” lanjutnya.
ku hanya bisa terpaku menerima nasehatnya. Dan
nasehat yang sama seperti yang diajarkan oleh guru mengajiku pun ia sampaikan.
“ridho orang
tua adalah ridho nya Allah juga” sambung pengusaha itu.
Setelah melalui pemikiran yang matang, aku
mulai mempersiapkan diri untuk menemui malaikatku yang sebenarnya. Malaikat
yang telah membesarkanku. Malaikat yang telah aku khianati dan aku lupakan.
Akan ku peluk erat tubuhnya, dan tak akan pernah kubiarkan mereka dalam
kehinaan dan kemiskinan lagi.
sesampainya di negri seribu pohon,
hutan tempat aku bermain dahulu ku tersontak kaget. Tiada ku tandai lagi tempat
itu. Semuanya telah berubah dimakan jamn. tumbuhan hijau mulai berganti dengan
tumbuhan tanpa daun. Negri yang sejuk menjadi terasa panas. gubuk yang dahulu
kutinggalkanlah satu – satunya yang membuatku yakin akan tempat itu. Gubuk derita
yang berdiri ditengah – tengah bangunan yang tinggi menjulang.
Ketika sang pemilik gubuk itu
keluar, derai air mata pun mulai membasahi pipi ku. Wajah yang sudah keriput
karna memperjuangkanku mulai mengamati ku. Dengan lantangnya kuteriakkan
kalimat maafku di depan orang tua ku. seribu mata pun tertuju pada ku. mereka
heran akan diriku. mereka tak percaya dengan keadaan diriku yang sekarang. yang
datang dari kota dengan roda 4. mobil ferrari keluaran terbaru.
“Ibu, ayah
maafkan aku, Aku telah melupakanmu, Aku telah berbuat dosa pada mu.
Maafkanlah anak mu ini”.
Terimakasih