Senin, 12 Mei 2014

Kisah Anak Kampung



            Bujang, begitulah orang – orang menyapa ku. Ku terlahir dari keluarga yang sangat terbelakang, terpinggirkan, dan hanya menyambung hidup dengan berjualan kayu bakar. Setiap hari ku habiskan di dalam semak belukar untuk mencari sebatang pohon. Orang tua ku yang telah tua mulai tak sanggup lagi berjalan menyusuri lereng bukit yang penuh dengan semak belukar. Setiap aku keluar menjajakan kayu, ku selalu di ejek oleh pemuda dan anak – anak kampung yang berpendidikan. Dan tak jarang pula mereka mencaci maki ku. Namun, ini semua harus ku lalui.
            Hingga suatu saat aku mulai menyadari akan masa depan ku. Ku menatap ke arah yang lebih jauh, dan semakin terhanyut dalam pikiran, ku melayang di angan – angan melihat nasib yang akan ku terima jika tetap terpaku dalam kebodohan. Betapa inginnya aku hidup bagaikan anak – anak yang selalu bersuka ria. Ingin rasanya ku teriakkan pada dunia bahwa aku ingin seperti mereka. namun aku tiada sanggup.
“Bujang yang malang.” begitulah mereka mengejek ku.
            Didalam lamunan ku, ku melihat akan datangnya sesosok malaikat yang ingin menjemput ku dan membawa ku dalam istana yang megah. Tiba – tiba aku tersentak dari lamunan ku. Derap langkah seorang pengusaha memupuskan hayalan ku. Senyum dan sapaannya membuatku terpanah, akankah ia datang sebagai malaikat yang akan menjadikan ku sebagai raja?.
“Selamat pagi dek?” begitulah ia menyapa ku.
Tak sepatah kata pun dapat ku ucapkan, bahkan untuk membalas sapaannya pun aku tak sanggup. Ku masih berada dalam ketidakyakinan. Setelah beliau berlalu barulah aku tersadar bahwa beliau bicara pada ku. Hari – hari selanjutnya mulai ku lewati dengan penuh semangat. Ku ingin seperti pengusaha yang telah menyapa ku itu. Hingga suatu saat aku berjumpa kembali dengan beliau.
            “pagi pak?” sapa ku terlebih dahulu sebelum beliau memberi salam.
“pagi dek.” jawab beliau. Selanjutnya kami pun bicara panjang lebar hingga akhirnya ia menanyakan perihal pendidikan ku. Dengan sangat malu kusampaikan pada beliau bahwa aku tidak pernah menduduki jenjang pendidikan. Kini usia ku sudah menginjak 14 tahun, seumuran dengan anak kelas 3 SLTP. Walaupun demikian beliau tetap memberi semangat pada ku agar memasuki dunia pendidikan. Bahkan aku ditari beliau untuk bersekolah ditempat yang sangat baik. namun untuk awalnya aku harus belajar secara mandiri dahulu.
            ketika pelaksanaan UN di gelar, aku mengikuti ujian untuk sekolah terbuka dengan jenis ujian paket B. Setelah lulus ujian beliau membawa ku ke kota besar. Kota yang tak pernah ada dalam pikiran ku. Seperti hutan yang ditumbuhi oleh pohon – pohon yang tiada berdaun. Ya, bagaikan rumah pohon yang tingginya mencakar langit. Panasnya suhu kota membuat ku sesalu ingin kembali ke negri seribu pohon. Semangat untuk mengubah nasib dan mengangkat derajat keluarga jualah yang membuat aku bertahan hidup di negri tanpa daun ini.
*****
            Sepuluh tahun berlalu, kini ku hidup dalam kemewahan. Namun kemewahan ini jualah yang menyiksa ku. sedetik pun tiada waktu yang tersisa dalam hidup ku. Bahkan untuk menatap wajah lesuh orang tua ku pun tak bisa. Ku telah di butakan oleh harta yang melimpah. Ku telah lupa akan apa yang diajarkan oleh guru mengaji pada ku. Didalam kesibukan ku, samar ku dengar suara seruling dan biola. Nyanyian khas kampung halaman ku. Suara seruling penghimbau pulang. Suara biola pesta perayaan. Semakin lama ia semakin jelas ku dengar. Rindu yang telah terkubur mulai bangkit kembali. Ikatan kerja yang erat mulai diputuskan oleh gejolak rindu. Seruling itu mengingatkan ku ketika berada di dalam hutan belantara. Ketika ku bernyanyi dengan satwa yang ada. Ku mulai bangkit dari kursi kerajaan ku, menyusuri setiap jalan yang ada. Mencari sumber suara yang selalu bernyanyi di telinga ku. Namun ia tiada pernah ku jumpai.
            Untuk selanjutnya ku mulai merenung, Ku mulai berpikir tentang apa yang telah ku lakukan dalam hidup ku. Pada dinding – dinding yang kokoh, pada kota ini, ku tanyakan apa yang telah ku perbuat. namun yang kudengar hanyalah kebisuan. Harta yang selama ini cari tak sanggup menjawab pertanyaanku. Pakaian yang selalu ku pakai pun hanya memilih untuk membisu. Aku mulai gila dengan keadaan ini.
“Malaikat itu.” bisik hati ku. Yah, malaikat itu. Dimanakah ia berada? Mengapa ia membiarkanku menjadi gila seperti ini? Sejuta pertanyaan mulai menghantui pikiran ku.
            Tiba – tiba aku dikejutkan oleh datangnya sosok yang mungkin ku kenali. Masih jelas di pikiran ku tantang wajah itu. Wajah yang dahulunya memperkenalkanku tentang harta, tentang kekayaan, dan sosok wajah yang telah menjadikanku sebagai orang yang sangat jenius dilingkunganku. Ingin rasanya ku membunuhnya. Namun suaranya dan cara bicanyanya jualah yang menjadikan ku membatalkan eksekusi yang ku rencanakan. Sebuah nasehat kecil yang ia sampaikan kepada ku.
            “Harta yang melimpah tidak akan pernah membuatmu tenang. hanya kehadiran orang tua disampingmu yang dapat menyejukkan dan menenangkan hati mu.” nasehat malaikat ku.
“Harta yang kau cari hanya akan menjadikan mu sebagai npenghuni neraka jika kau tidak berbakti pada orang tua mu.” lanjutnya.
 ku hanya bisa terpaku menerima nasehatnya. Dan nasehat yang sama seperti yang diajarkan oleh guru mengajiku pun ia sampaikan.
“ridho orang tua adalah ridho nya Allah juga” sambung pengusaha itu.
 Setelah melalui pemikiran yang matang, aku mulai mempersiapkan diri untuk menemui malaikatku yang sebenarnya. Malaikat yang telah membesarkanku. Malaikat yang telah aku khianati dan aku lupakan. Akan ku peluk erat tubuhnya, dan tak akan pernah kubiarkan mereka dalam kehinaan dan kemiskinan lagi.
            sesampainya di negri seribu pohon, hutan tempat aku bermain dahulu ku tersontak kaget. Tiada ku tandai lagi tempat itu. Semuanya telah berubah dimakan jamn. tumbuhan hijau mulai berganti dengan tumbuhan tanpa daun. Negri yang sejuk menjadi terasa panas. gubuk yang dahulu kutinggalkanlah satu – satunya yang membuatku yakin akan tempat itu. Gubuk derita yang berdiri ditengah – tengah bangunan yang tinggi menjulang.
            Ketika sang pemilik gubuk itu keluar, derai air mata pun mulai membasahi pipi ku. Wajah yang sudah keriput karna memperjuangkanku mulai mengamati ku. Dengan lantangnya kuteriakkan kalimat maafku di depan orang tua ku. seribu mata pun tertuju pada ku. mereka heran akan diriku. mereka tak percaya dengan keadaan diriku yang sekarang. yang datang dari kota dengan roda 4. mobil ferrari keluaran terbaru.
“Ibu, ayah maafkan aku, Aku telah melupakanmu, Aku telah berbuat dosa pada mu.
Maafkanlah anak mu ini”.

         Terimakasih


Tidak ada komentar:

Posting Komentar