Senin, 17 Oktober 2016

Sajak Pertemuan Mahasiswa

SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA
Oleh :
W.S. Rendra
Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
memeriksa keadaan.
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya :
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.
Dan esok hari
matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !
Jakarta 1 Desember 1977

Sajak Orang Miskin

SAJAK ORANG MISKIN
Oleh: Ws Rendra

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang
selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim..
Djogja, 4 Februari 1978

Selasa, 11 Oktober 2016

Sejarah Kota Natal Jilid III

Eduard Douwes Dekker: Controleur Natal, 30-11-1842 hingga 25-08-1843

Rumah Multatuli di Natal, 1842 (foto 1910)
Di Natal, Eduard Doewes Dekker tidak bisa menahan keprihatinannya terhadap perlakukan petugas terhadap penduduk. Dekker yang baru beberapa bulan bertugas menjadi tempat ‘curhat’ dan keluh kesah penduduk itu diresponnya dengan baik. Dekker bahkan melakukan advokasi, suatu yang tidak lazim dilakukan oleh pejabat pemerintahan colonial. Pengawas menganggap Dekker tidak pro pemerintah (yang mengeksploitasi) dan malahan pro terhadap penduduk (yang dieksploitasi). Akibatnya, Eduard Doewes Dekker dipanggil ke Padang dan dibebaskan dari tugas controleur dan digantikan oleh H. Dipenhorst.

Kerusuhan yang terjadi pada tahun 1842 sempat direkam oleh Eduard Douwes Dekker yang kala itu menjadi controleur di Natal. Melihat penderitaan rakyat Mandailing dan Ankola, Dekker berbalik arah dan melakukan pembangkangan terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena Dekker manjadi tempat curhat para pimpinan penduduk menyebabkan dirinya dipecat dan diombang-ambingkan bagaikan gelandangan selama setahun di Padang tanpa mendapat gaji dan dihalangi bertemu istri yang tinggal di Batavia. Kisah inilah yang menjadi pemicu awal mengapa Eduard Douwes Dekker dikemudian hari novelnya diberi judul Multatuli (aku yang menderita).

Multatuli (Saya telah menderita)

Eduard Doewes Dekker adalah Controleur Natal. Namun namanya tidak pernah terpublikasi secara resmi. Dalam Almanak Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda tahun 1842 dan tahun 1843 nama controleur Natal tidak mencantumkan nama Eduard Doewes Dekker. Nama yang tercatat dalam Almanak tersebut adalah JH van Meerten, controleur yang sudah berakhir masa tugasnya. Tampaknya, nama Eduard Doewes Dekker ingin dihapus selamanya.

Namun dengan ditemukannya surat-surat Eduard Doewes Dekker (terbukti) dan kenyataannya, Eduard Doewes Dekker telah bertugas sebagai controleur di Natal sekurang-kurangnya antara 30 November 1842 hingga 25 Augustus 1843. Informasi ini telah dengan sendirinya mengkoreksi isi Almanak 1842 atau Almanak 1843.

De Sumatra post, 18-03-1931: ‘Surat dari Eduard Douwes Dekker. Telah ditemukan dari arsip Negara untuk disimpan, controleur di Natal, Eduard Douwes Dekker menulis surat dari 30 November 1842 hingga 25 Augustus 1843. Meskipun isi dari surat-surat ini tidak signifikan dan mengingat hal ini tidak ada kaitannya dengan literatur serius yang telah muncul di dalam tahun perjalanan Multatuli, tapi pasti akan disambut, sebab di dalam surat-surat itu dapat diperhatikan tentang kepribadian (ED Dekker) yang luhur di wilayah kerjanya (di Natal)’.

Hal yang penting dari surat-surat Eduard Doewes Dekker antara 30 November 1842 hingga 25 Augustus 1843 di satu sisi telah menunjukkan jatidirinya sebagai pribadi yang berkarakter yang boleh diartikan sangat peduli terhadap penderitaan penduduk Mandailing/Angkola akibat penerapan koffiestelsel (system tanam paksa), sementara di sisi lain isi surat-surat (yang ditahan tersebut) diduga menjadi penyebab mengapa Eduard Doewes Dekker dipecat dan ditelantarkan setahun di Padang.

Beberapa tahun kemudian, nama Eduard Doewes Dekker karena dianggap tuduhan palsu kepada lalu direhabilitasi. Eduard Doewes Dekker tidak melakukan pelanggaran administrasi (penyelewengan) dan kemanusian tetapi justru menyuarakan perlindungan kemanusiaan. Setelah direhabilitasi Eduard Doewes Dekker dipekerjakan kembali di tempat lain. Selama bertugas di berbagai tempat, Eduard Doewes Dekker masih terus menemukan dan melihat seperti apa yang dilihat, didengar dan dipahaminya di Mandailing/Angkola. Berbagai penderitaan penduduk terus mengiang di telinganya lalu menulis buku berjudul Max Havelaar dengan tokoh Multatuli. Buku ini (terbit 1860) menjadi heboh di Hindia Belanda dan terkenal hingga ini hari. Tokoh Multatuli yang digambarkannya bermula di Natal (penderitaan penduduk Mandailing/Angkola).

Algemeen Handelsblad, 07-07-1842
Eduard Doewes Dekker di Hindia Belanda bukan sendiri. Eduard memiliki saudara kandung bernama Jan Doewes Dekker. Dia adalah seorang militer.






Oleh : Akhir Matua Harahap


Senin, 03 Oktober 2016

Tuntut Realisasikan Plasma. Mahasiswa Pantai Barat Turun ke Jalan

Puluhan mahasiswa pantai barat yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Pantai Barat dan berbagai elemen organisasi berdemo di kantor pusat PT. RMM & PT. DIS senin (03 Oktober 2016)
Dalam orasi politiknya mahasiswa menuntut PT. RMM dan PT. DIS untuk segera merealisasikan kebun plasma milik desa Bintuas dan desa Buburan kecamatan Natal, Madina. Tercatat sudah 18 Tahun masyarakat desa Bintuas dan Buburan ditipu oleh perusahaan nakal ini.
Lebih lanjut dikatakan bahwa sejak tahun 1998 PT RMM telah menyatakan kesediaannya membangun kebun plasma bagi masyarakat sebagai bentuk wujud ganti rugi lahan masyarakat yang dirusak dan dikuasai. Namun PT RMM tidak pernah melaksanakan perjanjian tersebut, bahkan melalui surat No: 010/DR-SK/RMM/IX/2008 PT RMM menyatakan ketidaksanggupannya melanjutkan pengelolaan areal izin lokasi. Kemudian muncul PT DIS yang menyatakan kesediaannya untuk melanjutkan usaha perkebunan PT RMM yang melalui surat No: 005/DIR-DIS/VII/09 menyatakan kesanggupannya membangun plasma.
Hingga saat ini telah terjadi beberapa perjanjian susulan. Mulai dari MoU tahun 2010 hingga addendum tahun 2015 yang isinya tetap sama, yakni janji perusahaan untuk merealisasikan kebun plasma masyarakat.
Sebelumnya masyarakat sudah berulang kali membuat laporan pengaduan dan meminta fasilitas mediasi keberbagai pihak. Mulai dari PemKab Madina, Polres Madina, DPRD Madina, DPRD SU, KOMNASHAM, OMBUDSMEN hingga ke KOMISI II DPR RI. Namun upaya itu hingga kini tidak membuahkan hasil.
Dalam orasi terakhirnya, Ikhwanuddin selaku pimpinan aksi menyampaikan beberapa tuntutan mereka.
Diantaranya " Cabut HGU PT RMM/PT DIS jika tidak merealisasikan kebun plasma desa Bintuas dan desa Buburan. Seret, adili dan penjarakan pengusaha nakal. Hentikan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan aparat Pemerintah terhadap Rakyat. Usut tuntas Mafia Plasma dan CSR di Madina serta mendesak pemkab Madina untuk menyelesaikan persoalan agraria di kabupaten Madina."