Sumber : fb Alvyn.
Fotografer : Alvyn.
Nur Alamsyah Batubara AMB
Sumber : fb Alvyn.
Fotografer : Alvyn.
Kota Natal
Sejak kerusuhan tahun 1842 di Mandailing dan pemecatan Controleur Natal, Eduard Doowes Dekker 1843, demi menjaga kepentingan pemerintahan (produksi komodi ekspor), pemerintah mulai ciut nyalinya lalu mulai dengan tatakelola pemerintahan yang berimbang (di satu tangan tetap dengan pengawasan senjata dan di tangan yang lain memberi stimulan yang mampu meredakan ketegangan. Stimulan itu dalam pelaksanaannya baru nanti dilakukan pada era pemerintahan yang dijabat oleh Asisten Residen AP Godon (1847-1857).
Sejak dipecatnya Eduard Douwes Dekker, pemerintahan di Natal dikendalikan oleh beberpa controleur. Anehhnya pejabat controleur definitif tidak pernah ada (hanya sebagai pejabat sementara). Ini mengindikasikan bahwa faktor Eduard Doowes Dekker masih menjadi pertimbangan.
Asisten Residen AP Godon yang humanis
Pada tahun 1846 afdeeling Natal dimasukkan ke Residentie Tapanoeli (menyusul afd, Mandailing en Angkola). Afdeeling Natal yang sempat rantai terputus 1845 (Natal masuk Residentie Air Bangis sementara Mandailing en Angkola masuk Residentie Tapanoeli) tidak terdapat koordinasi. Dengan bersatunya kedua afdeeling ini di dalam satu residentie maka fungsi koordinasi kembali terlaksana. Oleh karena di afdeeling Mandailing en Ankola statusnya asisten residen, maka controleur Natal harus selalu berkoordinasi dengan asisten residen Mandailing en Angkola.
Pada tahun 1846 asisten residen Mandailing en Ankola adalah C. Rodenburg (menggantikan TJ Willer yang telah menjabat sejak 1843). Namun Rodenburg tidak disukai pemimpin Mandailing en Ankola lalu digantikan HM Andree Wiltens (sebagai pjs). Kemudian ditunjuk asisten residen yang baru 1847 bernama JKD Lammlet, namun juga tidak mendapat penerimaan oleh pemimpin Mandailing en Ankola lalu diberhentikan dan digantikan AP Godon pada tahun 1848.
Praktis selama periode 1843 (pasca kerusuhan) hingga kedatangan AP Godon (1848) koordinasi pemerintahan antara Natal dan Mandailing en Ankola tidak berjalan kondusif. Tingkat penerimaan penduduk terhadap pejabat sangat rendah. Pada periode ini banyak penduduk Mandailing en Ankola yang eksodus ke luar Residentie Tapanoeli (ke Padang Lawas, Sumatra Timur dan Semenanjung Malaya). Migrasi ini dalam jangka panjang sangat dikhawatirkan pemerintah colonial karena dengan sendirinya jumlah tenaga kerja potensial akan berkurang. (factor penting eksploitasi eknomi colonial).
Tahun 1845 Afdeeling Mandailing dan Angkola dipisahkan dari Air Bangis. Residentie Air Bangis dihapus dan dimasukkan ke Residentie Padangsch Bovenlanden. Di Air Bangis hanya dijabat oleh Asisten Residen. Afd, Natal menjadi bagian dari Padangsch Bovenlanden. Posisi Natal menjadi dilematis. Afd, Natal tidak masuk Residentie Tapanoeli dan dari sisi geografis Natal menjadi terpencil dari Residentie Padangsch Bovenkanden. Namun, keterpencilan Natal masih tertolong dengan dibukanya jalur transportasi Mandailing-Natal. Dalam konteks regional: Mandailing menjadi hulu (sumber utama produksi) dan Natal menjadi hilir (pelabuhan).
Pada tahun 1946, Residentie Tapanoeli baru terdiri dari: Afd. Natal, Afd. Mandailing en Angkola, Afd. Baros, Afd. Singkel plus Eiland. Nias (statusnya belum menjadi afdeeling/kabupaten meski pulau Nias sudah dimasukkan sebagai bagian dari Residentie Tapanoeli sejak 1842). Sedangkan afdeeling Pertibie yang sudah ada sejak 1842, sejak tahun 1844 dihapus (kelak tahun 1876 dikembalikan lagi sebagai sebuah afdeeling, yang kurun waktunya bersamaan dengan afd. Silindoeng en Toba dimasukkan ke dalam Residentie Tapanoeli).
Oleh karena itu, Gubernur Jenderal di Batavia dan Gubernur Michiel di Padang harus mencari asisten residen yang sesuai dengan kebutuhan penduduk/pemimpin di Mandailing en Ankola. Anehnya, yang ditemukan justru bukan berpangkat setingkat asisten residen melainkan yang masih berpangkat setingkat controleur. Kandidat tersebut adalah AP Godon, contoleur yang tengah menjabat di afdeeling Singkel (yang masih Residentie Tapanoeli).
Oleh : Akhir Matua Harahap
Ia telah merakitnya. Dan sudah sejak lama merakitnya. Namun dahulunya hanya sebatas ukuran petasan saja.
Hampir setiap hari merakitnya. Dan sering pula diledakkan oleh masyarakat dan oknum tertentu yg termakan amarah.
Beberapa bulan lalu ia mulai membuat yg lebih besar ukurannya.
Rakyat pun gelisah.
Dilaporkan ke aparat dan penguasa.
Namun semua masih diam saja.
Hingga ukuran BOM ukuran sedang itu dledakkan rakyat ddepan penguasa.
Namun lagi masih tetap sperti dahulunya.
Dengan beribu macam dalihnya.
Tanggal 4 Nov pun tiba.
Rakyat kembali meledakkannya.
Dengan kekuatan yg dahsyatnya.
Laksana BOM ATOM Nagasaki Hirosima.
Semua mulai sibuk dengannya.
Penguasa hilir mudik pergi kesana.
Menjumpai para tokoh dan ulama.
Tdak luput berbagai organisasi yg ada.
Aparat pun sibuk mnangkapi perusuh yg ada.
Seolah mnuduh rakyatlah yg bersalah.
Karna tak sabar dlm proses hukumnya.
Sekarang. BOM ATOM berubah sudah jadi NUKLIR yg MAHA.
Namun perakitnya masih bebas dluar sana.
Yg kejar hanya peledaknya.
Bom NUKLIR itu sudah dtangan tentara Allah.
Dan tinggal mnunggu waktunya saja dlm tugasnya.
Negara kokoh akan terpecah belah.
Wahai para penguasa.
Segera seret perakitnya.
Agar negeri ini tidak terpisah2.
Dan BOM NUKLIR nya dhancurkan oleh para ulama..
SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA
Oleh :
W.S. Rendra
Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
memeriksa keadaan.
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya :
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.
Dan esok hari
matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !
Jakarta 1 Desember 1977
SAJAK ORANG MISKIN
Oleh: Ws Rendra
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang
selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim..
Djogja, 4 Februari 1978
Eduard Douwes Dekker: Controleur Natal, 30-11-1842 hingga 25-08-1843
Rumah Multatuli di Natal, 1842 (foto 1910)
Di Natal, Eduard Doewes Dekker tidak bisa menahan keprihatinannya terhadap perlakukan petugas terhadap penduduk. Dekker yang baru beberapa bulan bertugas menjadi tempat ‘curhat’ dan keluh kesah penduduk itu diresponnya dengan baik. Dekker bahkan melakukan advokasi, suatu yang tidak lazim dilakukan oleh pejabat pemerintahan colonial. Pengawas menganggap Dekker tidak pro pemerintah (yang mengeksploitasi) dan malahan pro terhadap penduduk (yang dieksploitasi). Akibatnya, Eduard Doewes Dekker dipanggil ke Padang dan dibebaskan dari tugas controleur dan digantikan oleh H. Dipenhorst.
Kerusuhan yang terjadi pada tahun 1842 sempat direkam oleh Eduard Douwes Dekker yang kala itu menjadi controleur di Natal. Melihat penderitaan rakyat Mandailing dan Ankola, Dekker berbalik arah dan melakukan pembangkangan terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena Dekker manjadi tempat curhat para pimpinan penduduk menyebabkan dirinya dipecat dan diombang-ambingkan bagaikan gelandangan selama setahun di Padang tanpa mendapat gaji dan dihalangi bertemu istri yang tinggal di Batavia. Kisah inilah yang menjadi pemicu awal mengapa Eduard Douwes Dekker dikemudian hari novelnya diberi judul Multatuli (aku yang menderita).
Multatuli (Saya telah menderita)
Eduard Doewes Dekker adalah Controleur Natal. Namun namanya tidak pernah terpublikasi secara resmi. Dalam Almanak Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda tahun 1842 dan tahun 1843 nama controleur Natal tidak mencantumkan nama Eduard Doewes Dekker. Nama yang tercatat dalam Almanak tersebut adalah JH van Meerten, controleur yang sudah berakhir masa tugasnya. Tampaknya, nama Eduard Doewes Dekker ingin dihapus selamanya.
Namun dengan ditemukannya surat-surat Eduard Doewes Dekker (terbukti) dan kenyataannya, Eduard Doewes Dekker telah bertugas sebagai controleur di Natal sekurang-kurangnya antara 30 November 1842 hingga 25 Augustus 1843. Informasi ini telah dengan sendirinya mengkoreksi isi Almanak 1842 atau Almanak 1843.
De Sumatra post, 18-03-1931: ‘Surat dari Eduard Douwes Dekker. Telah ditemukan dari arsip Negara untuk disimpan, controleur di Natal, Eduard Douwes Dekker menulis surat dari 30 November 1842 hingga 25 Augustus 1843. Meskipun isi dari surat-surat ini tidak signifikan dan mengingat hal ini tidak ada kaitannya dengan literatur serius yang telah muncul di dalam tahun perjalanan Multatuli, tapi pasti akan disambut, sebab di dalam surat-surat itu dapat diperhatikan tentang kepribadian (ED Dekker) yang luhur di wilayah kerjanya (di Natal)’.
Hal yang penting dari surat-surat Eduard Doewes Dekker antara 30 November 1842 hingga 25 Augustus 1843 di satu sisi telah menunjukkan jatidirinya sebagai pribadi yang berkarakter yang boleh diartikan sangat peduli terhadap penderitaan penduduk Mandailing/Angkola akibat penerapan koffiestelsel (system tanam paksa), sementara di sisi lain isi surat-surat (yang ditahan tersebut) diduga menjadi penyebab mengapa Eduard Doewes Dekker dipecat dan ditelantarkan setahun di Padang.
Beberapa tahun kemudian, nama Eduard Doewes Dekker karena dianggap tuduhan palsu kepada lalu direhabilitasi. Eduard Doewes Dekker tidak melakukan pelanggaran administrasi (penyelewengan) dan kemanusian tetapi justru menyuarakan perlindungan kemanusiaan. Setelah direhabilitasi Eduard Doewes Dekker dipekerjakan kembali di tempat lain. Selama bertugas di berbagai tempat, Eduard Doewes Dekker masih terus menemukan dan melihat seperti apa yang dilihat, didengar dan dipahaminya di Mandailing/Angkola. Berbagai penderitaan penduduk terus mengiang di telinganya lalu menulis buku berjudul Max Havelaar dengan tokoh Multatuli. Buku ini (terbit 1860) menjadi heboh di Hindia Belanda dan terkenal hingga ini hari. Tokoh Multatuli yang digambarkannya bermula di Natal (penderitaan penduduk Mandailing/Angkola).
Algemeen Handelsblad, 07-07-1842
Eduard Doewes Dekker di Hindia Belanda bukan sendiri. Eduard memiliki saudara kandung bernama Jan Doewes Dekker. Dia adalah seorang militer.
Oleh : Akhir Matua Harahap
Ranah Nata nagari batuah.
Lautannya luas di samudra hindia.
Serambi mekkah di sumatra utara.
Syekh Abdul Fattah nan mambaok perintah agama.
.
Ranah Nata nan punyo tanah.
Dari batu bakuduang ka batu gajah.
Batu Mundam ka batu sondat luas wilayah.
Batu nan ampek kato para tetuah.
.
Batang nan ampek tasabuik pulo.
Jalur sungai nan punyo jaso.
Batang Batahan jalur kerajaan sirajo Sutan Rangkayo Majo Dirajo.
Batang nata jalur Pangeran Sutan Indra dri Indopuro.
Batang Kunkun jalur kerajaan Sutan Tiansyah dariBengkulu pulo.
Batang Gadih jalur kerajaan singkuang nan Rajo Merangkat punyo kuaso.
.
Ranah Nata kota sejarah.
Beragam jumlah objek wisata.
Wisata alam budaya dan peninggalan penjajah.
Nan harus djago jgan sampai punah.
.
Karya : Nur Alamsyah Batubara AMB
Ranah Nata tanah pusako.
Nan basamo harus kito jago.
Lauik nan indah dpandang mato.
Tanah subur mambaok rajaki pulo.
.
Kini Ranah tinggalah namo.
Dulu jo kini indak ka samo.
Dulu bajayo kini mulai marano.
Ulah parangai nan asik manabuong doso.
.
Wahai dunsanak nan sukses drantau urang.
Dangalah ratok tanah bundo kanduang.
Ranah nan btampek di baliak gunuang.
Tampek badan dulu di baduang.
.
Kalauik nalayan manjalo udang.
Kasawah patani pai mananam.
Jikok ka sudi dunsanak babaliak pulang.
Basamo kito mambangkik batang tarandam.
.
Ranah kini mnjadi malang.
Rang kayo ka jadi rajo gadang.
Hitan dirambah malangga larang.
Ba'a banjir indak ka datang.
.
Manga lah kayo nan jadi primadona.
Nan mudo karantau iyo balomba.
Ranah kayo dgadai ka pangusaha.
Sansaro sanak nan tingga di Ranah Nata.
.
Karya : Nur Alamsyah Batubara AMB.
Bamulo carito dr air bangis jo rajo Indropuro.
Singgasana talatak di padang Malako.
Datuk Imam dan Pngeran Indra Sutan nan punyo namo.
Abad 17 dtulis sejarah Pulo.
.
Lain halnyo pado abad ka tujuah hijriah.
Samaso singgah saudagar dri tanah jazirah.
Tasabuiklah namo saudagar Ibnu Bathuthah.
Nan punyo gala pulo untuak ranah.
.
Abad 14 masehi tasabuik pulo.
Syekh Maghribi Maulana Malik Ibrahim lah tibo pulo.
Nan disusul pado abad sasudahnyo.
Datang saudagar chino banamo H. Sham Po Boo.
.
Tahun smbilan baleh ampek anam jadi saksinyo.
Kota Natal dresmikan di Republik indonesia pulo.
Aswed H. Sjariful Alamsyah nan bakuaso.
Nan diwariskan oleh kolonial Ulando.
.
Kini ranah lah tuo pulo.
Lah banyak rajo dan demang nan bakuaso.
Asisten Wedana baitu juo.
Kalau lah camat alah puluohan pulo.
.
Kini Ranah acok manangih.
Adat budayo lah ampiang habih.
Bancano datang siliah baganti.
Alam rusak rasaki habih.
.
Karya : Nur Alamsyah Batubara AMB.
Pada tahun 1933 terjadi pergerakan militer dari Natal (juga dari Air Bangis) untuk mendukung perang total Belanda terhadap kaum Padri yang berpusat di Bonjol. Tahun 1934 di Panjaboengan dibangun benteng (yang kemudian disebut Benteng Elout). Para hulubalang Mandailing dan Angkola ikut berpartisipasi. Pada tahun 1836 arsitektur pemerintah Noordelijke Afdeeling mengalami perubahan. Statusnya ditingkatkan menjadi Asisten Residen (JA Moser). Status semi militer di Natal dikembalikan menjadi status sipil, sementara jabatan asisten ditempatkan di Mandailing (F. Bonet, pensiunan militer yang sebelumnya menjadi posthouder di Tapanoeli) dan di Rao (W. Ivats). Dengan demikian Noordelijke Afdeeling meliputi Natal, Tapanoeli, Air Bangis, dan Rao. Di Air Bangis, Komandan digantikan oleh militer aktif berpangkat letnan dua. Pada tahun 1837 perlawanan Padri berhasil dilumpuhkan, tetapi di Mandailing dan Ankola kaum Padri dibawah Toekoe Tambusai masih melakukan tekanan terhadap penduduk. Pada tahun 1838 dibangun benteng Pijorkoling sebagai salah satu basis untuk melunpuhkan pengikut Tambusai di Pertibie (kemudian berubah nama menjadi Padang Lawas). Perlawanan Tambusai berakhir tahun 1838. Atas dasar ini wilayah yang berada di sebelah utara Sumatra’s Westkust dibentuk satu afdeeling (Noordelijke afdeeling). Pada tahun 1838 terjadi perubahan drastic. Noordelijke afdeeling dipimpin oleh seorang Resident (yang berkedudukan di Air Bangis) dimana di Natal tetap berstatus asisten residen. Pada tahun 1839 para pemimpin Batak (Mandailing/Angkola) menyepakati sejumlah keputusan dengan pejabat-pejabat Belanda. Salah satu kesepakatan adalah menerapkan koffiecultuur (1840). Mandailing terdiri dari 38 kampong yang dikepalai oleh para Radja dan Panghoeloe yang secara keseluruhan punduduknya berjumlah 40.000 jiwa. Loeboe 10.000 jiwa. Angkola 10.000 jiwa. Pertibie 8.000 jiwa. Pada tahun 1840 di satu sisi Natal diturunkan statusnya dari Asisten Residen menjadi Controleur. Sementara di sisi lain dibentuk afdeeling Mandailing en Angkola yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen berkedudukan di Panjaboengan. Selama masa perang, F. Bonet yang bertugas selama tiga tahun (1836-1839) berkedudukan di Kotanopan. Ini berarti dimulai pemerintahan sipil di Mandailing (dan Angkola). Struktur pemerintah menjadi Residentie Air Bangis dimana residen berkedudukan di Air Bangis. Dengan penambahan cakupan wilayah ke Baros, maka Residentie Air Bangis terdiri dari: afdeeling Air Bangis, afd. Natal, afd. Mandailing en Angkola, afd, Tapanoeli dan afd. Baros. Hal lain di afd. Tapanoeli tetap hanya diisi oleh seorang posthouder, sementara di afd. Baros langsung diisi oleh pejabat sipil. Afdeeling Rao yang sebelumnya masuk Residentie Airbangis dipisahkan dan dimasukkan ke Residentie Padangsch Bovenlanden (ibukota Fort de Kock). Pada tahun 1842 afd, Tapanoeli dan afd. Baros dipisahkan dari Residentie Air Bangis dan besama-sama dengan afdeeling baru (Pertibie, Singkel dan Nias) dibentuk residentie yang baru yakni Residentie Bataklanden (yang terdiri dari dua afdeeling: Tapanoeli dan Pertibie). Meski disebut Residentie pejabat tertinggi belum setingkat resident. Pejabat Residentie Bataklanden dan asisten residen afd. Tapanoeli sama-sama berkedudukan di Sibolga. Di afd. Pertibie pejabat tertinggi belum setingkat asisten residen. Pejabat asisten residen berkedudukan di Biela. Di Baros, Singkel dan Biela ditempatkan masing-masing seorang Controleur. Residentie Air Bangis menjadi hanya terdiri dari afd. Airbangis, afd, Natal, afd, Mandailing en Angkola plus afd. Rao (yang kembali masuk Residentie Air Bangis). Di Natal tetap dijabat seorang Controleur. Sementara di Rao ditempatkan seorang Asisten Residen yang dibantu satu controleur. Di Afdeeling Mandailing en Ankola ditempatkan dua controleur yakni di afd. Angkola dan afd. Oeloe en Pakantan.
(oleh : Akhir Matua Harahap)
Judul Lagu: Satangkai Malang
Ciptaan: Dhel Mantari
Samulo baniah satampang
Tumbuah di sawah samo digaro
Nan satangkai banasib malang
Dek angin kancang patah tandannyo
Disiko mangko urang sisiahkan
Ulah dek hampo bia tabuang
Namun nan boneh rang bao pulang
Atah nan tingga jo jarami malang
Samulo baniah satampang
Tumbuah di sawah samo digaro
Ondeh dunsanak kami di lumbuang
Kanalah kami nan malang
Sungguah diluluak kami bagaluang
Ka ganti baniah nan datang
Sungguahpun malang nasib ko
Di dalam luluak kami paguno
Namun nan boneh usahlah lupo
Kami ka pupuak baniah nan tibo
Samulo baniah satampang
Tumbuah di sawah samo digaro
Ondeh dunsanak kami di lumbuang
Kanalah kami nan malang
Sungguah diluluak kami bagaluang
Ka ganti baniah nan datang
Sungguahpun malang nasib ko
Di dalam luluak kami paguno
Namun nan boneh usahlah lupo
Kami ka pupuak baniah nan tibo
Samulo baniah satampang
Tumbuah di sawah samo digaro
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.
1908
Boedi Oetomo, adalah suatu wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan Budi Oetomo sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, di antaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, GMKI Gerakan Mahasiswa kristen Indonesia, PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dengan Partai Katholik,Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Di antara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha memengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI dan, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru.
1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktik kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama pada masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa jtyang bernama aji uga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
1977-1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakikat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Gerakan bersifat nasional namun tertutup dalam kampus, Oktober 1977Sunting
Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas secara nasional meliputi kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. [1] 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!"�. Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram.[2]
Peringatan Hari Pahlawan 10 November 1977, berkumpulnya mahasiswa kembali
10 November 1977, di Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada Oktober 1977, giliran Kampus ITS Baliwerti beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan.
Sejak pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok membangkitkan nurani yang hilang. Kemudian disepakati pusat pertemuan nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya.
Sementara di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan pengawalan ketat tentara.
Acara hari itu, berwarna sajak puisi serta hentak orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat gerah. Beberapa batalyon tempur sudah ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya. Sepanjang jalan ditutup, mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat. Aksi mereka dibungkam dengan cerdik.
Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan agar Soeharto turun masih menggema jelas, menggegerkan semua pihak. Banyak korban akhirnya jatuh. Termasuk media-media nasional yang ikut mengabarkan, dibubarkan paksa.
Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS rutin berkontribusi pada tiap pernyataan sikap secara nasional. Senat mahasiswa fakultas tak henti mendorong dinamisasi ini. Mereka bergerak satu suara. Termasuk mendukung Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga poin namun berarti. "Kembali pada Pancasila dan UUD 45, meminta pertanggungjawaban presiden, dan bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran dan keadilan".
Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir.
Penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan pengekangan.
Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak negara.
Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal.
Di UI, panser juga masuk kampus. Wajah mereka garang, lembaga pendidikan sudah menjadi medan perang. Kemudian hari, dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala.
Di ITS, delapan fungsionaris DM masuk "daftar dicari" Detasemen Polisi Militer. Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya.
Beberapa berhasil tertangkap, sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain. Dalam proses tersebut, mahasiswa tetap "bergerak". Selama masih ada wajah yang aman dari daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan kampus masih panas, walau Para Rektor berusaha menutupi, intelejen masih bisa membaca jelas.[2]
1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa pada tahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
Sejarah Kota Natal pada awalnya adalah bagian dari sejarah pelabuhan-pelabuhan pantai barat Sumatra. Pada tahun 1825 pelabuhan Natal menjadi wilayah penguasaan Belanda (berdasarkan Traktak London, 17 Maret 1824).
Peta kuno, 1619 (peta Portugis)
Sejak kedatangan pelaut-pelaut Eropa di Nusantara (menggantikan pelaut/pedagang dari India, Persia dan Arab), nama Natal belumlah popular. Pelaut Portugis dan Spanyol yang pertamakali datang. Kemudian disusul Perancis, Inggris dan Belanda. Pelaut-pelaut Portugis telah memetakan wilayah Nusantara. Ketika pelaut Belanda datang (1895) diantara nama-nama tempat terdapat tiga nama yang terpetakan yakni: Baros, Aroe dan Batahan. Natal tidak teridentifikasi.
Kehadiran Portugis menghilang di sekitar Sumatra oleh Belanda (Malaka direbut). Hanya tersisa Inggris dan Belanda, setelah Inggris menggusur kehadiran Perancis. Perseteruan Inggris-Belanda di Eropa berimbas pada pengusaan wilayah di Nusantara (termasuk di Sumatra). Inggris menggantikan Belanda. Lalu kemudian berdasarkan Traktat London terjadi ‘tukar guling’ Bengkulu dan Malaka.
Leydse courant, 26-06-1761: ‘..4 Februari 1760, kapal Perancis berlabuh di Air Bangis..7 Februari 1860 Inggris mengambil pelabuhan Natal dari Perancis. Pelabuhan Natal ini diduduki oleh 40 Eropa dan 60
Pada tanggal 12 Mei 1829 Belanda mengambil alih Kota Padang dari Inggris. Residentie Sumatra’s Westkust dibentuk dari Pariaman hingga Indrapoera (menjadi Padaugsche bovenlanden). Kemudian wilayah Belanda di perluas di pantai dari Singkil hingga Ujung Masang dan di pedalaman Mandheling en Rao. Pada tahun 1830 di Natal dan Tapanoeli ditempatkan seorang posthouder. Di Natal posthouder bernama A.H Intveld.
Kekuasaan Baros hingga ke Natal. Baros pada tahun 1668 terdapat post VOC. Pada tahun 1755-1760 diambil alih oleh Inggris.
Penduduk di Kota Natal sendiri adalah penduduk melting pot. Mereka adalah pendatang yang umumnya berdagang. Menurut Tijdschrift voor Neerland's Indiƫ jrg 2, 1839, di Natal terdapat enam suku:
1. Soekoe Menangkabauw. Menangkabausche stam.
2. Soekoe Barat, Westelijke stam.
3. Soekoe Padang, stam van Padang.
4. Soekoe Bandar Sepoeloe, stam uit de plaatsen gelegen tusschen Padang en Benkoelen.
5. Soekoe Atje, stam van Atjin.
6. Soekoe Rauw, stam van Rauw.
Setiap suku dikepalai oleh seorang Datu dan para Datu dipimpin oleh seorang Radja yang disebut Toeankoe Besar. Lanskap Natal juga meliputi hulu Kota Natal terdapat Linggabayu, di sebelah utara, di sebelah selatan Batahan dan Air Bangis (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indiƫ jrg 2, 1839). Di Linggabayu terdapat Radja (dan panglima) yang mana penduduknya Mandailing 3.000 jiwa. Di Batahan terdapat penduduk Mandailing sebanyak 2.500 jiwa yang dikepalai oleh seorang Radja. Wilayah Batahan termasuk pulau Tamang. Di selatan Batahan terdapat Air Bangis yang dikepalai oleh seorang Radja (dan Panghoeloe).
Di pedalaman (Batak) penduduk Mandailing dan Angkola tengah berperang melawan pasukan Padri dari Bonjol. Kaum Padri adalah salah satu sekte yang mengusung pemurnian agama (dengan kekerasan). Di Minangkabau, Padri memerangi kaum adat (kerajaaan). Di Tanah Batak, Padri melakukan eksploitasi dengan dalih pemurnian agama. Para pemimpin Batak (Mandailing/Angkola) meminta bantuan pihak Belanda (untuk mengamankan Tanah Batak).
Pada tahun 1832 di Natal dimulai pemerintahan semi-militer dengan jabatan Civiel-Militaire Kommandant berpangkat letnan satu (dibantu dua pejabat sipil). Ini dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan sipil di Natal yang sudah kondusif dan ikut mendukung penyerangan militer di pusat Padri di Bonjol. Hal yang sama juga di Air Bangis, yang sebelumnya bersatus Civiel Kommandat diubah menjadi Civiel-Militaire Kommandant (pangkat sipil, bukan militer). Pada tahun 1833 Natal, Tapanoeli dan Air Bangis disatukan menjadi satu afdeeling yang diberi nama Noordelijke Afdeeling dengan ibukota Natal..
Sungai di daerah sikapas dengan pemandangan yang sangat indah.
Dan dari sungai ini. Hanya dengan mnempur perjalanan beberapa kilometer lagi. Kita akan sampai pada objek wisata lainnya. Yaitu pantai Batu Badaun ( Batu Berdaun).
Untuk mnuju lokasi sungai ini dbutuhkan perjalanan sekitar 2 jam dari kota Natal.