KOMPAS.com – Setelah pendaftaran partai politik untuk Pemilu 2014 dibuka beberapa hari lalu, sulit disangkal bahwa setiap partai telah menjalankan agenda electoral activities.
Artinya, setiap perilaku partai, baik sebagai organisasi maupun anggota, akan berorientasi pada perolehan suara dalam pemilu (Kaare Storm, 1999). Inilah yang disebut vote-seeking behavior.
Dalam situasi tersebut, koalisi partai pendukung pemerintah tidak menjadi kebutuhan. Dalam komposisi parlemen, koalisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II saat ini terdiri atas enam partai: Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Setiap partai memiliki kader dalam kabinet dengan komposisi 19 dari 34 menteri berasal dari partai politik. Koalisi yang awalnya untuk mempertemukan kepentingan pada isu-isu krusial ternyata sekadar quasi-political institution.
Pada kenyataannya, sekalipun koalisi di Indonesia tidak mempunyai perangkat legal untuk melakukan institusionalisasi politik, koalisi partai pendukung pemerintah yang terlembaga dalam sekretariat gabungan tak lebih dari kelembagaan semu dan tidak punya output politik berarti dalam penyelenggaraan negara.
Dekomposisi
Dalam konteks biopolitics (meminjam terminologi Lynton Caldwell, 1964), koalisi partai politik pendukung pemerintah akan sampai pada dua bentuk akhir yang sama sekali berbeda: dekomposisi atau fermentasi. Disebut dekomposisi atau pembusukan karena organ-organ penting koalisi tidak berfungsi akibat egoisme politik. Disfungsi bermuara pada lepasnya organ pembangun koalisi (partai politik) yang saling menghancurkan karena koalisi bersifat rent seeking.
Kedua, koalisi akan mengalami fermentasi politik dalam arti bahwa institusionalisasi koalisi akan semakin terstruktur, frekuensi konsensus internal lebih tinggi, dan output-nya adalah kristalisasi kepentingan bersama.
Namun, fermentasi politik terjadi tidak sekadar dengan menyelenggarakan negara secara bersama. Ada tiga prasyarat penting yang harus dipenuhi: elektabilitas dan popularitas presiden, partai berkarakter policy-seeking behavior, dan negosiasi spektrum ideologi partai.
Fakta menunjukkan bahwa koalisi akan berakhir pada dekomposisi. Layaknya ketela pohon yang salah penanganan, koalisi sekretariat gabungan akan menghitam dan membusuk. Dia tidak befermentasi menjadi tapai—dengan bentuk dan aroma baru yang lebih lembut dan rasa yang lebih tajam—karena salah kelola.
Dekomposisi koalisi terjadi karena tiga alasan penting. Pertama, perilaku elite dalam struktur partai yang berkoalisi masih ke arah rent seeking, sama sekali bukan policy-seeking behavior. Artinya, jabatan dalam struktur kabinet dan kursi di parlemen adalah sumber daya partai, bukan bagian dari upaya intervensi partai dalam kebijakan negara.
Dalam beberapa studi, relevansi garis kebijakan partai politik dan kebijakan pemerintah memang kecil (Alan Ware, Parties in Government, 1996). Namun, pada sisi lain, Ian Budge dan Michel Laver (Party Policy and Government Coalition, 1992) yang meneliti di 13 negara demokrasi multipartai menjelaskan bahwa program partai yang dipromosikan sepanjang proses pemilu berpengaruh terhadap pemerintahan koalisi, tetapi tidak menjadi basis koalisi.
Kedua, koalisi yang ada tidak hirau pada jarak spektrum dan diferensiasi aliran partai. Nasib koalisi di Indonesia dipengaruhi oleh spektrum kepartaian yang tidak berada pada politik partai kiri dan partai kanan seperti banyak terjadi dalam praktik demokrasi Barat. Maka sulit untuk membangun relevansi antara jarak ideologi partai dan output koalisi yang berupa kebijakan dan keputusan politik negara.
Ketiga, hal yang justru dominan adalah elektabilitas dan popularitas presiden yang menciptakan fenomena magnet politik. Artinya, prasyarat penting terjadinya fermentasi politik dalam koalisi hanya dipenuhi oleh poin ini. Maka yang terjadi bukan lagi koalisi partai, melainkan partai koalisi.
Koalisi itu ada karena adanya kepentingan yang sama dalam jabatan politik tersebut, sehingga dalam hal ini, distribusi kekuasaan yang adil penjadi penting. Namun juga koalisi itu bisa berjalan dengan efektif, bila memang egoisme politik dari partai politik yang melakukan koalisi tersebut disimpan rapih-rapih, dikarenakan yang menjadi sandaran pentingnya bukan kepentingan golongan/kelompoknya, namun kepentingan rakyat banyak dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Memang, karakter dan atau identitas koalisi tidak bisa dipungkiri dalam adanya bagi-bagi jabatan politik. Jabatan-jabatan politik dalam kabinet koalisi itu menjadi pertimbangan yang mendasar. Pertimbangan power sharing atau distribusi kekuasaan yang adil tentu saja tak bisa diingkarinya oleh mereka partai politik yang berkoalisi.
Rangkaian koalisi merupakan awal yang bisa signifikan, bisa pula sebaliknya. Koalisi bisa signifikan, bila pergumulan kehidupan politik negara bangsa berjalan dengan demokratis di mana kesamaan hak dan adanya keadilan berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga percaturan politik nasional berjalan dalam koridor yang inklusif. Itu sebabnya, keadilan dalam perpolitikan adalah menjadi anjakan penilaian yang representatif dan substantif. Begitu pun sebaliknya, koalisi bisa berjalan tidak signifikan, kalau memang koalisi itu mengulang kembali mekanisme politik Indonesia dalam ranah yang mengiris hati rakyat. Dalam arti, tuntutan-tuntutan dan aspirasi rakyat banyak “terjegal” oleh kepentingan koalisi semata, karena semata-mata taktik untuk memeroleh dan mempertahankan kepentingan kekuasaannya.
Partai mencari hidup
Partai koalisi adalah partai yang mencari hidup dengan melakukan koalisi terhadap partai yang menang dalam pemilihan eksekutif . Vokalitas Golkar dan PKS dalam KIB II dapat dijelaskan dengan teori partai koalisi ini karena sejatinya kedua partai berkoalisi setelah kalah dalam pilpres. Partai mengerubungi dan merapat ke kursi presiden untuk mencari hidup.
Fenomena partai koalisi menjelaskan kegalauan presiden soal menteri parpol. Pidato presiden yang menyindir menteri/ketua umum partai menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada koalisi partai, melainkan partai koalisi. Jika ada koalisi partai, presiden akan menyelesaikan urusan dalam rumah tangga koalisi.
Alhasil, dalam menghadapi Pemilu 2014, beberapa partai koalisi menciptakan pengelolaan struktur kekuasaan politik sentripetal. Artinya, insentif partai berputar melalui kader di kabinet dengan presiden sebagai poros. Semakin kuat tarikan politik partai koalisi di parlemen, semakin kuat putaran insentif partai di kabinet.
Jika karakter sebagai partai koalisi (dan bukan koalisi partai), maka kita akan menyaksikan hal yang sama pasca-2014.
namun ada hal yang sangat di sayangkan dalam membentuk koalisi. para politikus lupa bahwa yang menentukan pemimpin besar negara ini adalah rakyat bukan partai politik. suara rakyat bukan suara partai. tetapi suara partailah yang merupakan suara rakyat.
sangat disayangkan jika pemerintah lupa dengan fungsi masyarakat di dalam pemilu. para politikus sibuk dengan koalisinya sehingga didalam masa kerjanya lebih mementingkan kepentingan partai dari pada kepentingan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar