Senin, 12 Mei 2014

Kisah Anak Kampung



            Bujang, begitulah orang – orang menyapa ku. Ku terlahir dari keluarga yang sangat terbelakang, terpinggirkan, dan hanya menyambung hidup dengan berjualan kayu bakar. Setiap hari ku habiskan di dalam semak belukar untuk mencari sebatang pohon. Orang tua ku yang telah tua mulai tak sanggup lagi berjalan menyusuri lereng bukit yang penuh dengan semak belukar. Setiap aku keluar menjajakan kayu, ku selalu di ejek oleh pemuda dan anak – anak kampung yang berpendidikan. Dan tak jarang pula mereka mencaci maki ku. Namun, ini semua harus ku lalui.
            Hingga suatu saat aku mulai menyadari akan masa depan ku. Ku menatap ke arah yang lebih jauh, dan semakin terhanyut dalam pikiran, ku melayang di angan – angan melihat nasib yang akan ku terima jika tetap terpaku dalam kebodohan. Betapa inginnya aku hidup bagaikan anak – anak yang selalu bersuka ria. Ingin rasanya ku teriakkan pada dunia bahwa aku ingin seperti mereka. namun aku tiada sanggup.
“Bujang yang malang.” begitulah mereka mengejek ku.
            Didalam lamunan ku, ku melihat akan datangnya sesosok malaikat yang ingin menjemput ku dan membawa ku dalam istana yang megah. Tiba – tiba aku tersentak dari lamunan ku. Derap langkah seorang pengusaha memupuskan hayalan ku. Senyum dan sapaannya membuatku terpanah, akankah ia datang sebagai malaikat yang akan menjadikan ku sebagai raja?.
“Selamat pagi dek?” begitulah ia menyapa ku.
Tak sepatah kata pun dapat ku ucapkan, bahkan untuk membalas sapaannya pun aku tak sanggup. Ku masih berada dalam ketidakyakinan. Setelah beliau berlalu barulah aku tersadar bahwa beliau bicara pada ku. Hari – hari selanjutnya mulai ku lewati dengan penuh semangat. Ku ingin seperti pengusaha yang telah menyapa ku itu. Hingga suatu saat aku berjumpa kembali dengan beliau.
            “pagi pak?” sapa ku terlebih dahulu sebelum beliau memberi salam.
“pagi dek.” jawab beliau. Selanjutnya kami pun bicara panjang lebar hingga akhirnya ia menanyakan perihal pendidikan ku. Dengan sangat malu kusampaikan pada beliau bahwa aku tidak pernah menduduki jenjang pendidikan. Kini usia ku sudah menginjak 14 tahun, seumuran dengan anak kelas 3 SLTP. Walaupun demikian beliau tetap memberi semangat pada ku agar memasuki dunia pendidikan. Bahkan aku ditari beliau untuk bersekolah ditempat yang sangat baik. namun untuk awalnya aku harus belajar secara mandiri dahulu.
            ketika pelaksanaan UN di gelar, aku mengikuti ujian untuk sekolah terbuka dengan jenis ujian paket B. Setelah lulus ujian beliau membawa ku ke kota besar. Kota yang tak pernah ada dalam pikiran ku. Seperti hutan yang ditumbuhi oleh pohon – pohon yang tiada berdaun. Ya, bagaikan rumah pohon yang tingginya mencakar langit. Panasnya suhu kota membuat ku sesalu ingin kembali ke negri seribu pohon. Semangat untuk mengubah nasib dan mengangkat derajat keluarga jualah yang membuat aku bertahan hidup di negri tanpa daun ini.
*****
            Sepuluh tahun berlalu, kini ku hidup dalam kemewahan. Namun kemewahan ini jualah yang menyiksa ku. sedetik pun tiada waktu yang tersisa dalam hidup ku. Bahkan untuk menatap wajah lesuh orang tua ku pun tak bisa. Ku telah di butakan oleh harta yang melimpah. Ku telah lupa akan apa yang diajarkan oleh guru mengaji pada ku. Didalam kesibukan ku, samar ku dengar suara seruling dan biola. Nyanyian khas kampung halaman ku. Suara seruling penghimbau pulang. Suara biola pesta perayaan. Semakin lama ia semakin jelas ku dengar. Rindu yang telah terkubur mulai bangkit kembali. Ikatan kerja yang erat mulai diputuskan oleh gejolak rindu. Seruling itu mengingatkan ku ketika berada di dalam hutan belantara. Ketika ku bernyanyi dengan satwa yang ada. Ku mulai bangkit dari kursi kerajaan ku, menyusuri setiap jalan yang ada. Mencari sumber suara yang selalu bernyanyi di telinga ku. Namun ia tiada pernah ku jumpai.
            Untuk selanjutnya ku mulai merenung, Ku mulai berpikir tentang apa yang telah ku lakukan dalam hidup ku. Pada dinding – dinding yang kokoh, pada kota ini, ku tanyakan apa yang telah ku perbuat. namun yang kudengar hanyalah kebisuan. Harta yang selama ini cari tak sanggup menjawab pertanyaanku. Pakaian yang selalu ku pakai pun hanya memilih untuk membisu. Aku mulai gila dengan keadaan ini.
“Malaikat itu.” bisik hati ku. Yah, malaikat itu. Dimanakah ia berada? Mengapa ia membiarkanku menjadi gila seperti ini? Sejuta pertanyaan mulai menghantui pikiran ku.
            Tiba – tiba aku dikejutkan oleh datangnya sosok yang mungkin ku kenali. Masih jelas di pikiran ku tantang wajah itu. Wajah yang dahulunya memperkenalkanku tentang harta, tentang kekayaan, dan sosok wajah yang telah menjadikanku sebagai orang yang sangat jenius dilingkunganku. Ingin rasanya ku membunuhnya. Namun suaranya dan cara bicanyanya jualah yang menjadikan ku membatalkan eksekusi yang ku rencanakan. Sebuah nasehat kecil yang ia sampaikan kepada ku.
            “Harta yang melimpah tidak akan pernah membuatmu tenang. hanya kehadiran orang tua disampingmu yang dapat menyejukkan dan menenangkan hati mu.” nasehat malaikat ku.
“Harta yang kau cari hanya akan menjadikan mu sebagai npenghuni neraka jika kau tidak berbakti pada orang tua mu.” lanjutnya.
 ku hanya bisa terpaku menerima nasehatnya. Dan nasehat yang sama seperti yang diajarkan oleh guru mengajiku pun ia sampaikan.
“ridho orang tua adalah ridho nya Allah juga” sambung pengusaha itu.
 Setelah melalui pemikiran yang matang, aku mulai mempersiapkan diri untuk menemui malaikatku yang sebenarnya. Malaikat yang telah membesarkanku. Malaikat yang telah aku khianati dan aku lupakan. Akan ku peluk erat tubuhnya, dan tak akan pernah kubiarkan mereka dalam kehinaan dan kemiskinan lagi.
            sesampainya di negri seribu pohon, hutan tempat aku bermain dahulu ku tersontak kaget. Tiada ku tandai lagi tempat itu. Semuanya telah berubah dimakan jamn. tumbuhan hijau mulai berganti dengan tumbuhan tanpa daun. Negri yang sejuk menjadi terasa panas. gubuk yang dahulu kutinggalkanlah satu – satunya yang membuatku yakin akan tempat itu. Gubuk derita yang berdiri ditengah – tengah bangunan yang tinggi menjulang.
            Ketika sang pemilik gubuk itu keluar, derai air mata pun mulai membasahi pipi ku. Wajah yang sudah keriput karna memperjuangkanku mulai mengamati ku. Dengan lantangnya kuteriakkan kalimat maafku di depan orang tua ku. seribu mata pun tertuju pada ku. mereka heran akan diriku. mereka tak percaya dengan keadaan diriku yang sekarang. yang datang dari kota dengan roda 4. mobil ferrari keluaran terbaru.
“Ibu, ayah maafkan aku, Aku telah melupakanmu, Aku telah berbuat dosa pada mu.
Maafkanlah anak mu ini”.

         Terimakasih


Senin, 05 Mei 2014

kinerja KPU

KPU merupakan salah satu lembaga resmi di negara ini yang mengurusi setiap hal yang berkaitan dengan pemilihan yang subjek pemilihnya adalah masyarakat. Di dalam membebani tugasnya KPU hendaklah berlaku netral, dan ini adalah salah satu syarat untuk menjadi anggota KPU. yaitu tidak tergabung dalam salah satu partai politik.
namun didalam prakteknya, sangat banyak kita lihat anggota KPU yang telah terdaftar sebagai anggota dari partai politik. sehingga tidak mengherankan lagi jika kita melihat banyaknya kasus kecurangan dalam pemilu. di daerah - daerah terpencil, penggelembungan suara untuk seorang caleg sangat besar harapannya bisa terjadi. Dan inilah yang dimanfaatkan oleh caleg - caleg kaya yang kurang dukungan dari masyarakat. ini dapat kita lihat dari banyaknya berita tentang adanya perubahan suara di kertas c1 dengan d1. 
Kinerja KPU saat ini sudah sewajarnya di evaluasi. Mengingat tindakan yang sangat merugikan negara yang telah dilakukan mereka. didalam pendistribusian surat suara saja kita telah dapat menebak bahwa pemilu ini akan ditandai dengan kecurangan. Pemanfaatan kotak suara yang rusak adalah yang yang tidak dapat kita pungkiri. sering kita dengar ribuan surat suara rusak, namun faktanya sebagian nya dimanfaatkan untuk menambah suara dari caleg tertentu. Ada yang sebelum pemilu surat suara telah di coblos. bahkan yang menimbulkan pemikiran tentang kurangnya kinerja KPU adalah adanya caleg yang telah dipidana sebelum pemilu, namun nama caleg tersebut tidak di coret dari daftar caleg. dan ternyata caleg tersebutlah yang mempunyai suarah terbanyak di dapilnya, bahkan di daerahnya.
sungguh hal yang sangat disesalkan. besarnya dana pemilu ternyata tidak sejalan dengan hasil dari pemilu tersebut. ratusan juta kertas terbuang sia - sia namun tiada memuaskan hasilnya. padahal dapat kita katakan bahwa anak - cucu kita tidak akan dapat lagi melihat kertas. namun kita sia - siakan begitu saja.
timbul pertanyaan, kita sudah hidup dijaman yang serba canggih. Jaman robotik. namun mengapa negara ini tetap menggunakan kertas??. apakah tidak bisa kita gunakan kecanggihan jaman ini?
ataukah mereka masih mau mengisi kantongnya dari monopoli suara rakyat ini?
pntas saja negara ini tidak pernah maju.

Sabtu, 26 April 2014

Carut Marut Dunia Pendidikan Di Indonesia



pendidikan merupakan proses perubahan dari sifat dan karakter manusia. pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. dengan adanya pendidikan maka harkat dan martabat suatu bangsa akan naik dimata dunia.
banyak kisah yang mengharukan di dunia pendidikan saat ini. mulai dari perjuangan seorang guru dalam mengajar siswanya, ada pula guru yang mengabdi pada dunia pendidikan selama 40 tahun namun hanya di gaji 150 ribu rupiah saja perbulannya. sampai perjuangan dengan perjuangan seorang guru yang mengorbankan nyawanya hanya untuk melihat suksesnya anak didiknya nanti.
namun sayangnya di dunia yang modern ini, dunia pendidikan kita dirusak oleh sikap dari orang – orang yang harusnya memberikan tauladan bagi anak didiknya. banyak tindak tindakan konyol yang tidak seharusnya dilakukan seorang pendidik terhadap peserta didiknya. ada seorang guru yang mendzolimi peserta didiknya, ada yang malakukan tindak kekerasan diluar batas lazimnya. namun yang lebih menyedihkan lagi adalah dilaporkannya pendidik oleh peserta didik hanya karna memberikan hukuman pada siswa yang tidak disiplin.
dengan adanya komnas HAM, prestasi pendidikan di negri ini akan mulai merosot. sebab para pendidik akan selalau dihantui penjara. ketika memberi hukuman karna ketidak disiplinan peserta didik, yang terbayang hanya pengaduan dari orang tua siswa. sehingga para peserta didik dapat dengan bebasnya bertindak. sehingga seolah – olah peserta didik terlindungi dari adanya komnas HAM.
belum lagi sikap para pendidik calon guru di negri ini. banyak dosen yang selalu mempersulit mahasiswanya. mulai dari sulitnya menjumpai dosen tersebut sampai dosen yang hanya bertanya dan menjatuhkan mahasiswanya tanpa memberi solusi.
sering kita dengar keluhan dari senioran yang mengatakan sulitnya menjumpai dosen. yang lebih menyedihkan lagi adalah sikap seorang dosen yang membohongi mahasiswanya. “ketika di konfirmasi tentang lokasi sang dosen beliau mengatakn di luar kota, padahal ia ada di kantin sedang santai.” begitulah kata mahasiswa yang sering kami dengar.
seorang dosen telah mengajarkan sikap tidak terpuji pada mahasiswanya. ada lagi dosen yang mempersulit mahasiswanya dengan memberi nilai E (tidak lulus) berjama’ah hanya karna pada saat beliau kuliah pernah mengulang pada mata kuliah yang sama. kemudian ada dosen yang hanya masuk satu kali kemudian membentuk kelompok diskusi. dan setiap pertemuan mahasiswa harus tetap menjalankan diskusi hingga materi selesai, sedangkan dosennya duduk santai di kantin atau rumahnya. kemudian absen kehadiran dosen harus terisi penuh tanpa absen.
inilah dunia pendidikan kita. semuanya bermula dari sikap para pendidik calon guru. jika dosennya kejam, maka guru yang dibentuk juga akan kejam. dan ini tidak dapat kita bohongi. dan ini terjadi di sekitar kita.

Selasa, 22 April 2014

Lagu SINDEN MESIR bahasa Melayu Pesisir



SINDEN MESIR
Cipt. Saff Ra Alisyahbana

reff: 
ondeh sanak sadonyo
mari joget basamo
sinden mesir lagunya
bajoget basamo –samo

sinden mesir lagunyo
untuok kito basadonyo
jikok bajoget sadonyo
tapi jangan rondoboyo

labieh rancak baduo sajo
disiko lasap baraso

... 
mari joget bagoyang
tapi jangan lah mangebieng
beko urang salah pandang
kami bukan anak ronggeng

elok bagoyang di tampeknyo
labieh lasap jo salero
artis sanang di lagunyo
sanang asik jo goyangnyo

bagoyang dalam mabuok
artis kami beko ta antuok
disangko dek artis tanduok
tapi sanak nan mananduok

Rabu, 16 April 2014

PERANAN GURU



Pengertian Guru

    Secara etimologi (asal-usul kata), guru berasal dari bahasa India yang artinya “orang yang mengajarkan tentang kelepasan dan kesengsaraan” (Shamsudin, Republika, 25 Nopember 1997).

   Dalam Surat Edaran (SE) Mendikbud dan Kepala BAKN No. 57686)/MPK/1989 menyatakan bahwa “guru adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, wewenang dan tanggungjawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan di sekolah”. Sehingga pengertian pendidikan tersebut pada akhirnya menyangkut semua aspek kecerdasan.

   Guru merupakan pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah (UU tentang Guru dan Dosen, Bab I Pasal 1 ayat 1). Dari pengertian di atas jelas bahwa guru itu memiliki peranan yang strategis dan merupakan kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan kelembagaan sekolah, karena guru adalah pengelola KBM bagi para siswanya. Kegiatan belajar mengajar akan efektif apabila tersedia guru yang sesuai dengan kebutuhan sekolah baik jumlah, kualifikasi maupun bidang keahliannya.


Peranan Guru


   Peranan utama guru ialah sebagai seorang pendidik. Dalam merealisasikan matlamat pendidikan negara, seorang guru bertanggungjawab untuk mendidik murid-murid iaitu dengan memberi ilmu, memberi pendedahan dan pengalaman serta mendidik murid-muridnya berakhlak mulia. Guru berperanan dalam mengajar, menyampai maklumat, berbincang, mengendalikan bengkel dan sebagainya. Hal ini kerana guru merupakan insan yang dipertanggungjawabkan untuk mendidik murid-murid dengan segala ilmu pengetahuan supaya mereka dapat mengembangkan segala aspek yang ada dalam diri mereka iaitu dari segi jasmani, emosi, rohani, intelek dan sosial. Guru juga perlu mendedahkan murid-muridnya dengan pengalaman-pengalaman tertentu. Antaranya pengalaman mengembara, ikhtiat hidup di hutan, dan menyertai pertandingan. Hal ini adalah berkaitan dengan kegiatan kokurikulum di sekolah. Seterusnya, guru juga berperanan dalam mendidik murid-muridnya berakhlak mulia supaya mereka menjadi insan yang mulia. Dalam hal ini, pendidikan moral dan agama adalah penting. Guru hendaklah mendidik pelajarnya cara berhubung, berkomunikasi, adab makan, adab berpakaian, adab bergaul dan sebagainya supaya mereka menjadi insan yang berilmu dan bersahsiah selaras dengan Falsafah Pendidikan Kebangsaan.

    Didalam kehidupan sehari - hari kita dapat mengibaratkan seorang guru dengan seorang petani. Seorang petani yang setiap harinya memupuk, membersihkan dan menyirami tanamannya hingga berbuah. Begitu juga dengan guru yang setiap harinya selalu menyirami muridnya dengan ilmunya, membantu muridnya dalam memahami ilmu. Sehingga sang murid akan tumbuh dengan baik. Kemudian guru juga memberi pupuk pada peserta didiknya dengan motivasi - motivasi, nasehat, masukan - masukan yang menjadikan muridnya tumbuh dewasa dan menjadi anak yang berbakti, serta berguna bagi nusa dan bangsa. Dan seorang guru juga membersihkan siswanya dari segala tindakan, pikiran, serta sifat -sifat jelek muridnya.
   Dan sama juga dengan petani yang disetiap jenis tumbuhan membutuhkan perawatan khusus. maka guru juga mempunyai cara yang berbeda -beda dalam mendidik muridnya. Tergantung dengan jenis, tingkah, dan sifat muridnya.
    Yang membedakannya adalah lama masa panennya, jika seorang petani dapat menikmati jerih payahnya dalam batas waktu yang bisa kita prediksikan. Maka seorang guru dapat menikmati jerih payahnya dalm waktu yang tak dapat kita prediksikan. bisa saja setelah 20 tahun, 30 th dll.

Minggu, 13 April 2014

pelaksanaan UN

pelaksanaan UN akan tetap diwarnai dengan praktek - praktek kecurangan. hal ini dapat kita prediksikan dari banyaknya para aparat dan pihak- pihak yang terkait dalam pelaksanaannya yang mengambil keuntungan yang besar darinya. praktek ini dapat kita jumpai pada daerah - daerah perdesaan, bahkan diperkotaan sekalipun. adanya rasa cemas dan was - was dari pihak sekolah terhadap jumlah kelulusan menjadi salah satu penyebabnya.
belum lagi standarisasi mutu pendidikan yang berbeda antara perkotaan dengan pedesaan. perbedaan mutu ajar dipedesaan dan disebagian besar sekolah di indonesia. kemudian disusul dengan adanya ancaman penutupan sekolah ketika jumlah kelulusan dari sekolah sangat rendah. hal ini menyebabkan para pendidik bekerja keras untuk meningkatkan jumlah kelulusan setiap tahunnya. sehingga tak hayal jika praktek itu tetap berjalan di negara ini.
pelaksanaan UN untuk kali ini akan memakan banyak biaya dan akan memperluas terjadinya aksi korupsi di Indonesia. hal ini dapat kita lihat dari banyaknya pihak yang dilibatkan didalalm penyelenggaraannya. mulai dari 2 orang polisi setiap sekolah, dosen pengawas, guru pengawas, dan pihak lainnya.
walaupun standar kelulusan hanya 60% dari UN dan 40 % dari sekolah, praktek kecurangan dalam pelaksanaannya akan tetap terjadi. kesalahan mendasar dalam penyebabnya adalah lemahnya pengawasan dari dinas pendidikan terhadap mutu pendidikan di sekolah-sekolah.

Sabtu, 12 April 2014

koalisi partai



KOMPAS.com – Setelah pendaftaran partai politik untuk Pemilu 2014 dibuka beberapa hari lalu, sulit disangkal bahwa setiap partai telah menjalankan agenda electoral activities.
Artinya, setiap perilaku partai, baik sebagai organisasi maupun anggota, akan berorientasi pada perolehan suara dalam pemilu (Kaare Storm, 1999). Inilah yang disebut vote-seeking behavior.
Dalam situasi tersebut, koalisi partai pendukung pemerintah tidak menjadi kebutuhan. Dalam komposisi parlemen, koalisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II saat ini terdiri atas enam partai: Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Setiap partai memiliki kader dalam kabinet dengan komposisi 19 dari 34 menteri berasal dari partai politik. Koalisi yang awalnya untuk mempertemukan kepentingan pada isu-isu krusial ternyata sekadar quasi-political institution.
Pada kenyataannya, sekalipun koalisi di Indonesia tidak mempunyai perangkat legal untuk melakukan institusionalisasi politik, koalisi partai pendukung pemerintah yang terlembaga dalam sekretariat gabungan tak lebih dari kelembagaan semu dan tidak punya output politik berarti dalam penyelenggaraan negara.
Dekomposisi
Dalam konteks biopolitics (meminjam terminologi Lynton Caldwell, 1964), koalisi partai politik pendukung pemerintah akan sampai pada dua bentuk akhir yang sama sekali berbeda: dekomposisi atau fermentasi. Disebut dekomposisi atau pembusukan karena organ-organ penting koalisi tidak berfungsi akibat egoisme politik. Disfungsi bermuara pada lepasnya organ pembangun koalisi (partai politik) yang saling menghancurkan karena koalisi bersifat rent seeking.
Kedua, koalisi akan mengalami fermentasi politik dalam arti bahwa institusionalisasi koalisi akan semakin terstruktur, frekuensi konsensus internal lebih tinggi, dan output-nya adalah kristalisasi kepentingan bersama.
Namun, fermentasi politik terjadi tidak sekadar dengan menyelenggarakan negara secara bersama. Ada tiga prasyarat penting yang harus dipenuhi: elektabilitas dan popularitas presiden, partai berkarakter policy-seeking behavior, dan negosiasi spektrum ideologi partai.
Fakta menunjukkan bahwa koalisi akan berakhir pada dekomposisi. Layaknya ketela pohon yang salah penanganan, koalisi sekretariat gabungan akan menghitam dan membusuk. Dia tidak befermentasi menjadi tapai—dengan bentuk dan aroma baru yang lebih lembut dan rasa yang lebih tajam—karena salah kelola.
Dekomposisi koalisi terjadi karena tiga alasan penting. Pertama, perilaku elite dalam struktur partai yang berkoalisi masih ke arah rent seeking, sama sekali bukan policy-seeking behavior. Artinya, jabatan dalam struktur kabinet dan kursi di parlemen adalah sumber daya partai, bukan bagian dari upaya intervensi partai dalam kebijakan negara.
Dalam beberapa studi, relevansi garis kebijakan partai politik dan kebijakan pemerintah memang kecil (Alan Ware, Parties in Government, 1996). Namun, pada sisi lain, Ian Budge dan Michel Laver (Party Policy and Government Coalition, 1992) yang meneliti di 13 negara demokrasi multipartai menjelaskan bahwa program partai yang dipromosikan sepanjang proses pemilu berpengaruh terhadap pemerintahan koalisi, tetapi tidak menjadi basis koalisi.
Kedua, koalisi yang ada tidak hirau pada jarak spektrum dan diferensiasi aliran partai. Nasib koalisi di Indonesia dipengaruhi oleh spektrum kepartaian yang tidak berada pada politik partai kiri dan partai kanan seperti banyak terjadi dalam praktik demokrasi Barat. Maka sulit untuk membangun relevansi antara jarak ideologi partai dan output koalisi yang berupa kebijakan dan keputusan politik negara.
Ketiga, hal yang justru dominan adalah elektabilitas dan popularitas presiden yang menciptakan fenomena magnet politik. Artinya, prasyarat penting terjadinya fermentasi politik dalam koalisi hanya dipenuhi oleh poin ini. Maka yang terjadi bukan lagi koalisi partai, melainkan partai koalisi.
Koalisi itu ada karena adanya kepentingan yang sama dalam jabatan politik tersebut, sehingga dalam hal ini, distribusi kekuasaan yang adil penjadi penting. Namun juga koalisi itu bisa berjalan dengan efektif, bila memang egoisme politik dari partai politik yang melakukan koalisi tersebut disimpan rapih-rapih, dikarenakan yang menjadi sandaran pentingnya bukan kepentingan golongan/kelompoknya, namun kepentingan rakyat banyak dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Memang, karakter dan atau identitas koalisi tidak bisa dipungkiri dalam adanya bagi-bagi jabatan politik. Jabatan-jabatan politik dalam kabinet koalisi itu menjadi pertimbangan yang mendasar. Pertimbangan power sharing atau distribusi kekuasaan yang adil tentu saja tak bisa diingkarinya oleh mereka partai politik yang berkoalisi.
Rangkaian koalisi merupakan awal yang bisa signifikan, bisa pula sebaliknya. Koalisi bisa signifikan, bila pergumulan kehidupan politik negara bangsa berjalan dengan demokratis di mana kesamaan hak dan adanya keadilan berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga percaturan politik nasional berjalan dalam koridor yang inklusif. Itu sebabnya, keadilan dalam perpolitikan adalah menjadi anjakan penilaian yang representatif dan substantif. Begitu pun sebaliknya, koalisi bisa berjalan tidak signifikan, kalau memang koalisi itu mengulang kembali mekanisme politik Indonesia dalam ranah yang mengiris hati rakyat. Dalam arti, tuntutan-tuntutan dan aspirasi rakyat banyak “terjegal” oleh kepentingan koalisi semata, karena semata-mata taktik untuk memeroleh dan mempertahankan kepentingan kekuasaannya.


Partai mencari hidup
Partai koalisi adalah partai yang mencari hidup dengan melakukan koalisi terhadap partai yang menang dalam pemilihan eksekutif . Vokalitas Golkar dan PKS dalam KIB II dapat dijelaskan dengan teori partai koalisi ini karena sejatinya kedua partai berkoalisi setelah kalah dalam pilpres. Partai mengerubungi dan merapat ke kursi presiden untuk mencari hidup.
Fenomena partai koalisi menjelaskan kegalauan presiden soal menteri parpol. Pidato presiden yang menyindir menteri/ketua umum partai menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada koalisi partai, melainkan partai koalisi. Jika ada koalisi partai, presiden akan menyelesaikan urusan dalam rumah tangga koalisi.
Alhasil, dalam menghadapi Pemilu 2014, beberapa partai koalisi menciptakan pengelolaan struktur kekuasaan politik sentripetal. Artinya, insentif partai berputar melalui kader di kabinet dengan presiden sebagai poros. Semakin kuat tarikan politik partai koalisi di parlemen, semakin kuat putaran insentif partai di kabinet.
Jika karakter sebagai partai koalisi (dan bukan koalisi partai), maka kita akan menyaksikan hal yang sama pasca-2014.

namun ada hal yang sangat di sayangkan dalam membentuk koalisi. para politikus lupa bahwa yang menentukan pemimpin besar negara ini adalah rakyat bukan partai politik. suara rakyat bukan suara partai. tetapi suara partailah yang merupakan suara rakyat.

sangat disayangkan jika pemerintah lupa dengan fungsi masyarakat di dalam pemilu. para politikus sibuk dengan koalisinya sehingga didalam masa kerjanya lebih mementingkan kepentingan partai dari pada kepentingan masyarakat.

Selasa, 08 April 2014

kediaman MULTATULI di kota Natal - indonesia


pintu gerbang rumah Multatuli di kota Natal.
namun sayang nya seiringan dengan perkembengan jaman dan tuntutan untuk mendirikan RSU, maka dibongkarlah kediaman Multatuli ini yang sebelumnya dijadikan sebagai puskesmas.
pembongkaran ini dilakukan pada masa jabatan bupati MADINA Amru Daulay, dan kemudian dibangun RSU.
sungguh sebuah tindakan yang ceroboh dan tidak memperhitungkan situs sejarah.
anehnya sudah hampir 1 dekade namun RSU tersebut masih seperti puskesmas. mulai dari dokter yang kurang, perawat senior, dan perlengkapan yang tidak memadai.

konon menurut sejarah rumah ini dijadikan Multatuli untuk mengobati orang pribumi yang sakit pada masa penjajahan. sebuah tindakan yang menyebabkan Beliau dihukum oleh pihak Belanda, yang kemudian di pulangkan ke Belanda.

Senin, 07 April 2014

Perjalanan Pemilu di Indonesia


PEMILIHAN umum (pemilu) merupakan salah satu mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian pemimpin. Sudah sembilan kali bangsa Indonesia menyelenggarakan pesta rakyat itu.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu.
Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
Di tengah masyarakat, istilah pemilu lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

Pemilu 1955
sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan di proklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali.

Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR.
Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih anggota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan "penyimpangan" tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidak siapan pemerintahmenyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedia perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif.
Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan. Tidak terlaksana pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu .
Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antara kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No.27 tahun 1948 tentang pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No.12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No.12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi. Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadi pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oelh Panitia Sahardjo dan Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).


Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan SUkiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No.7 tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No.27 tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No.12 tahun 1949 yang Mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi. Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih dari 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.

Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. 


Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Kosntituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.


Pemilu 1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno. UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar.

Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma. Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.

Pemilu 1977, 1982.
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga partai.
Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. 

Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.

Hasil Pemilu 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.


Hasil Pemilu 1992
Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya. PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional. Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.

Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar. Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.
Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan oleh wakil presiden Bacharuddin Jusuf Habbie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau yang dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 atau 13 bulan masa kekuasaan Habbie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakan Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan Wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof.Dr.M Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni sebanyak 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi ini yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisi ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak dia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial, dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Hasil Pemilu 1999
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa daerah tingkat II di Sumatra Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:
Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999. Nomor Nama Partai
1.       Partai Keadilan
2.       PNU
3.       PBI
4.       PDI
5.       Masyumi
6.       PNI Supeni
7.       Krisna
8.       Partai KAMI
9.       PKD
10.   PAY
11.   Partai MKGR
12.   PIB
13.   Partai SUNI
14.   PNBI
15.   PUDI
16.   PBN
17.   PKM
18.   PND
19.   PADI
20.   PRD
21.   PPI
22.   PID
23.   Murba
24.   SPSI
25.   PUMI
26.   PSP
27.   PARI
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat pada 26 Juli 1999.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.

Pemilu 2004
Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) — pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.
Pentahapan Pemilu 2004
Pemilu ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap):
- Tahap pertama (atau pemilu legislatif”) adalah pemilu untuk memilih partai politik (untuk persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada 5 April 2004
- Tahap kedua (atau pemilu presiden putaran pertama) adalah untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada 5 Juli 2004.
- Tahap ketiga (atau pemilu presiden putaran kedua) adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden). Tahap ketiga ini dilaksanakan pada 20 September 2004.
Pemilu Legislatif 2004
Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah dilaksanakan pada 5 April 2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama.
Pemilu pesta demokrasi 2009 tinggal sehari lagi akan kita laksanakan, inilah pemilu multi partai yang menghabiskan biaya multi trilyun.
Tanggal 12 Juli 2008 yang lalu putaran kampanye partai politik peserta Pemilu 2009 sudah dimulai. Pemilu kali ini diikuti oleh 34 partai politik, jumlah ini jauh lebih banyak dari Pemilu 2004 yang diikuti oleh 24 partai. Kalau mau tahu partai apa saja, ini dia daftarnya, sesuai dengan nomor urutnya (walah, macam-macam saja nama partai itu, ada partai pengusaha pula):
1.      Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
2.      Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).
3.       Partai Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia.
4.       Partai Peduli Rakyat Nasional.
5.      Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
6.       Partai Barisan Nasional.
7.       Partai Keadian dan Persatuan Indonesia (PKPI).
8.       Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
9.       Partai Amanat Nasional (PAN).
10.   Partai Indonesia Baru.
11.   Partai Kedaulatan.
12.   Partai Persatuan.
13.   Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
14.   Partai Pemuda Indonesia.
15.   Partai Nasional Indonesia Marhaenis (PNI Marhaenis).
16.   Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).
17.   Partai Karya Perjuangan.
18.   Partai Matahari Bangsa.
19.   Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI).
20.   Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK).
21.   Partai Republik Nusantara.
22.   Partai Pelopor.
23.   Partai Golongan Karya (Golkar).
24.   Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
25.   Partai Damai Sejahtera (PDS).
26.   Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia.
27.   Partai Bulan Bintang (PBB).
28.  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
29.   Partai Bintang Reformasi (PBR).
30.   Partai Patriot.
31.   Partai Demokrat.
32.   Partai Kasih Demokrasi Indonesia.
33.   Partai Indonesia Sejahtera.
34.   Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).