PEMILIHAN
umum (pemilu) merupakan salah satu mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian
pemimpin. Sudah sembilan kali bangsa Indonesia menyelenggarakan pesta rakyat
itu.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan
untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan
presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR,
disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan
ke dalam rezim pemilu.
Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan
pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga
dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
Di tengah masyarakat, istilah pemilu lebih
sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden
yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Pemilu 1955
sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan di proklamasikan
oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah
menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun
1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden
Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan
partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih
anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian
ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun
setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955
dilakukan dua kali.
Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih
anggota-anggota DPR.
Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota
Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan
diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih anggota DPR dan MPR, tidak ada
Konstituante.
Keterlambatan dan "penyimpangan" tersebut bukan
tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula
yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara
lain ketidak siapan pemerintahmenyelenggarakan pemilu, baik karena belum
tersedia perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu
maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah
pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan
menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan
kompetitif.
Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang
mengharuskan negara ini terlibat peperangan. Tidak terlaksana pemilu pertama
pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945,
paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan
perangkat UU Pemilu .
Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik
internal antara kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat
yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para
pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik
untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No.27 tahun 1948
tentang pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No.12 tahun 1949 tentang Pemilu.
Di dalam UU No.12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah
bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada
alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf,
sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi
distorsi. Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari
Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadi pemilu
sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan
lagi, yang dilakukan oelh Panitia Sahardjo dan Kantor Panitia Pemilihan Pusat
sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali
menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama
Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan
RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan SUkiman Wirjosandjojo, juga dari
Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57
UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum. Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan
undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh
parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah
UU No.7 tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu
1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan
demikian UU No.27 tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No.12 tahun
1949 yang Mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR
tidak berlaku lagi. Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama
kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil
serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai
pihak, termasuk negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih dari 30-an
partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara
sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri
dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara
dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang
menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai
pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara.
Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR
dan memilih anggota Dewan Kosntituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan
semuanya.
Pemilu 1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat
Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak
secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi.
Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa
diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh
Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan
dalam tahun 1971. Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan
DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga
tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau
Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5
Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan.
Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan
yang diterapkan Presiden Soekarno. UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu
dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah
bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri
memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para
pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada
Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai
bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada
Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu,
yaitu Golkar.
Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969
sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini
ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai
yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi,
kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang
percuma. Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap,
ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah
pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian
kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai
berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan.
Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah
sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan
kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa
masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara
terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord
dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang
melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan
langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Pemilu 1977, 1982.
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur
mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu
1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari
segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata
perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977
pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah
sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah
partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.
Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai
Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5
kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya
tiga partai.
Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara
pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti
sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang
sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen.
Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak
pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara
nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya
Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara
nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan
masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242
kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan
Pemilu 1971.
Hasil Pemilu 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April
1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang
sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak
berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya
33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab
merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas
Islam dan diubahnya lambang dari Ka bah kepada Bintang dan terjadinya
penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara
itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang
tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana
diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam
Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan
dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
Hasil Pemilu 1992
Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama
dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan
tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab,
perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada
Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun
menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata
bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau
kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya. PPP juga mengalami hal yang
sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62
kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai
berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak
kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3
provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa,
tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu
menaikkan 1 kursi secara nasional. Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan
kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil
meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga
menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI
berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.
Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan
tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982,
1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya
menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini
Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51
persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325
kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. PPP juga menikmati
hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi.
Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan
Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar. Sedangkan PDI,
yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan
Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot
11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di
DPR dibandingkan Pemilu 1992.
Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap
kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura,
puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap
keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi
pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya
pada tanggal 21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan oleh wakil presiden
Bacharuddin Jusuf Habbie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau yang
dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil Pemilu 1997 segera diganti.
Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 atau 13 bulan masa
kekuasaan Habbie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakan Pemilu adalah
untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan publik, termasuk dunia
internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan
produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan
dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan Wakil
presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi
bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa
kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang
seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang
dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang
Pemilu dan RUU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU
ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh
Prof.Dr.M Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden
membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari
partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol
membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah pemilu
1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya
kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48
partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang dan
terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni sebanyak 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah
pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi ini
yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan.
Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah
menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski
persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya.
Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kuasaan,
meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang
lebih parah adalah krisi ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan
internasional.
Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13
bulan sejak dia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia
bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi,
sosial, dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Hasil
Pemilu 1999
Meskipun
masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu
1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti
yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu
1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa
daerah tingkat II di Sumatra Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya
terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas
datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi
tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan
suara dan pembagian kursi pada pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada
tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara
perhitungan suara dengan dalih pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap
penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai
tersebut adalah sebagai berikut:
Partai
yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999. Nomor Nama Partai
1.
Partai Keadilan
2.
PNU
3.
PBI
4.
PDI
5.
Masyumi
6.
PNI Supeni
7.
Krisna
8.
Partai KAMI
9.
PKD
10. PAY
11. Partai
MKGR
12. PIB
13. Partai
SUNI
14. PNBI
15. PUDI
16. PBN
17. PKM
18. PND
19. PADI
20. PRD
21. PPI
22. PID
23. Murba
24. SPSI
25. PUMI
26. PSP
27. PARI
Karena
ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada
presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan
kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti
keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan
tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah.
Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut
keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu
sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat pada 26 Juli 1999.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih
35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar
memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi
atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara
atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71
persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997.
PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima
besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2
kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.
Pemilu
2004
Pemilihan
Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk
memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda
dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden
dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR
yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini
pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti
Pemilu 1999) — pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon
presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden
secara terpisah.
Pentahapan
Pemilu 2004
Pemilu
ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap):
- Tahap pertama (atau pemilu legislatif”) adalah pemilu untuk memilih partai
politik (untuk persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan
menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada 5 April
2004
- Tahap kedua (atau pemilu presiden putaran
pertama) adalah untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden secara
langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada 5 Juli 2004.
- Tahap ketiga (atau pemilu presiden putaran kedua) adalah babak terakhir yang
dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang
mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya demikian, dua
pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu
presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu presiden putaran pertama
sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan
calon tersebut akan langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden).
Tahap ketiga ini dilaksanakan pada 20 September 2004.
Pemilu
Legislatif 2004
Pemilu
legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu
legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah dilaksanakan pada 5 April
2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan
pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan
DPD. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan
tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya,
yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama.
Pemilu pesta demokrasi 2009 tinggal sehari lagi
akan kita laksanakan, inilah pemilu multi partai yang menghabiskan biaya multi
trilyun.
Tanggal 12 Juli 2008 yang lalu putaran kampanye
partai politik peserta Pemilu 2009 sudah dimulai. Pemilu kali ini diikuti oleh
34 partai politik, jumlah ini jauh lebih banyak dari Pemilu 2004 yang diikuti
oleh 24 partai. Kalau mau tahu partai apa saja, ini dia daftarnya, sesuai
dengan nomor urutnya (walah, macam-macam saja nama partai itu, ada partai
pengusaha pula):
1.
Partai Hati
Nurani Rakyat (Hanura).
2.
Partai
Karya Peduli Bangsa (PKPB).
3.
Partai Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia.
4.
Partai Peduli Rakyat Nasional.
5.
Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
6.
Partai Barisan Nasional.
7.
Partai Keadian dan Persatuan Indonesia (PKPI).
8.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
9.
Partai Amanat Nasional (PAN).
10. Partai
Indonesia Baru.
11. Partai
Kedaulatan.
12. Partai
Persatuan.
13. Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
14. Partai
Pemuda Indonesia.
15. Partai
Nasional Indonesia Marhaenis (PNI Marhaenis).
16. Partai
Demokrasi Pembaruan (PDP).
17. Partai
Karya Perjuangan.
18. Partai
Matahari Bangsa.
19. Partai Penegak
Demokrasi Indonesia (PPDI).
20. Partai
Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK).
21. Partai
Republik Nusantara.
22. Partai
Pelopor.
23. Partai
Golongan Karya (Golkar).
24. Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).
25. Partai
Damai Sejahtera (PDS).
26. Partai
Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia.
27. Partai
Bulan Bintang (PBB).
28. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
29. Partai
Bintang Reformasi (PBR).
30. Partai
Patriot.
31. Partai
Demokrat.
32. Partai
Kasih Demokrasi Indonesia.
33. Partai
Indonesia Sejahtera.
34. Partai
Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).